Seorang murid duduk di bangku paling akhir. Ia terlambat masuk dalam kelas tersebut. Oh tidak...!! Ia bukan terlambat masuk, tapi sengaja masuk ke dalam kelas tersebut dan duduk di sana menanti temannya yang sedang mengikuti pelajaran di kelas tersebut. Ketika melihat ia duduk di sana, sang guru lalu memanggilnya untuk maju ke depan kelas untuk menyelesaikan sebuah soal matematika. Anak tersebut menjawab: "Maaf pak, aku gak bisa." Sang guru terus menyuruhnya maju; "Mengapa engkau menolak?" Tanya sang guru. "Karena aku bukan murid dari kelas ini." Demikian jawab anak tersebut. "Gak apa-apa. Walaupun engkau bukan murid dari kelas ini, namun aku memberikan engkau kesempatan untuk itu." Dengan perlahan dan dengan nada yang jelas anak tersebut menjawab: "Aku bukanlah murid kelas ini. Aku adalah seorang yang termasuk dalam kategori mentally retarded, seorang yang masuk dalam kelompok murid yang sulit berpikir normal dan dididik dalam sekolah luar biasa." Demikian ia seakan memperkenalkan dirinya kepada sang guru dengan harapan bahwa sang guru tak akan terus memaksanya mengerjakan soal tersebut.
Namun di luar perkiraannya. Sang guru datang mendekatinya, dan dengan penuh wibawa seorang bapa berkata kepadanya; "Hai nak, pandanglah mataku dan dengarkanlah kata-kataku. Sejak hari ini, janganlah menjadikan gambaran yang orang lain berikan kepadamu menjadi kenyataan dirimu. Engkau memiliki potensi untuk membuat keluargamu berbangga atas dirimu. Engkau bisa menjadi kebanggaan sekolah dan masyarakatmu. Engkau bisa menjadi seorang yang luar biasa, namun janganlah engkau menjadikan gambaran negatif yang diberikan orang lain tentang dirimu sebagai kenyataan dirimu." Kata-kata tersebut ternyata sungguh didengar dan dihayati sang anak tersebut. Beberapa tahu berlalu. Anak keturunan Afrika-Amerika yang diadopsi ketika berumur enam minggu tersebut akhirnya kini dikenal dengan nama Les Brown, seorang speaker dan penulis terkenal Amerika.
Hari ini aku mengajak teman-teman untuk mendengar ajaran Yesus yang mengatakan bahwa kita semua adalah garam dan terang dunia. "Kamu adalah garam dunia...Kamu adalah terang dunia." (Mat 5: 13-16). Sungguh benar bahwa kita memiliki semua kapasitas untuk berperan sebagai garam, untuk menjadi terang. Kata-kata kita bisa menjadi seumpama sebilah obor di malam kelam. Perhatian dan cinta kita bisa menjadi seakan garam yang mengawetkan, sebagai garam yang membuat hidup nampak lebih indah. Dengan menjadi garam dan terang kita bisa menyatukan diri dengan Santu Fransiskus dan berdoa; "Tuhan, di mana ada kebencian, jadikanlah aku penabur cinta; Di mana ada pertentangan, jadikanlah aku pembawa damai; Di mana ada kegelapan jadikanlah aku pembawa terang."
Namun kita sendiri kadang kala juup. Kita dihadapkan dengan berbagai penilaian dan kritik yang mungkin tak sesuai dengan kenyataan.
Kendati demikian, hendaknya kita ingat bahwa kita tak harus menjadikan gambaran yang diberikan orang lain tentang diri kita sebagai kenyataan dari diri kita. Kita tidak dilemahkga merasa diri hanyut terbawa kelemahan diri. Kita mungkin menemukan bahwa diri sendiri tak mampu menjadi sebilah obor. Kita menemukan diri berada dalam kegelapan. Di lain kesempatan, kita mungkin menemukan bahwa hidup kita seakan begitu tawar lebih tawar dari air yang mengaliri sungai Ciliwung. Kita mungkin juga mendengar begitu banyak orang lain memberikan julukan tertentu yang membuat kita kehilangan selera hidan oleh kritik atau penilaian orang lain. Tetapi menjadikan semuanya itu sebagai dorongan untuk maju, sebagai cambuk agar kita lebih bersungguh-sungguh bersinar sebagai terang di malam kelam, dan lebih bersungguh-sungguh berperan sebagai garam yang mengawetkan, garam yang menjadikan dunia sekitar kita lebih enak dan sedap. Enak dan sedap di mata manusia maupun di mata Tuhan. Amen!
Pardhi Sinurat
Email: Pardhicienurat@gmail.com
Facebook : www.pardhicienurat.cc.cc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar